Depok, 8 Desember 2020 – Urban Policy mengungkapkan bahwa ancaman dan kerawanan politik Pilkada Depok masih cenderung tinggi. Hal tersebut diketahui melalui riset yang dilakukan pada tanggal 23-27 November 2020 menggunakan metode multistage proporsional random sampling dengan melibatkan 800 responden dari 11 Kecamatan di kota Depok dan margin error sebesar 3,5%.
Riset ini bertujuan untuk mengetahui respons warga terhadap kampanye negatif dan politik uang. Hasilnya sebanyak 26,5% responden warga Depok mengaku bisa menerima dan akan terpengaruh oleh politik uang, 17,38% Responden memilih tidak Menjawab. Di samping itu 41,4% responden memilih akan percaya terhadap kampanye negatif, 15,6% memilih akan mencari tahu dan 42,1% responden memilih tidak percaya, sisanya memilih tidak menjawab.
Direktur Eksekutif Urban Policy Nurfahmi Islami Kaffah menjelaskan sedikitnya ada tiga faktor yang membuka kemungkinan diterimanya politik uang dalam pilkada Depok “Pertama adalah faktor kesenjangan informasi dan pengenalan pasangan calon, baik oleh penyelenggara maupun peserta Pilkada, Kedua adalah faktor kondisi ekonomi atas dampak covid-19 dan pragmatisme pemilih, sehingga menjadi celah bagi oknum tim kandidat untuk memanfaatkan situasi tersebut, ketiga adalah faktor lemahnya pengawasan dan pemantauan pemilu sehingga politik uang masih bisa terjadi di kota Depok” ucap Nurfahmi pada awak media.
Bahkan dari 26,5% responden yang mengaku terpengaruh politik uang, 46.5% memilih akan menerima jika diatas Rp 500 ribu, 17,5% responden menyatakan akan menerima diantara Rp 200 Ribu – Rp. 500 Ribu. 9% Responden akan menerima jika diberikan antara Rp. 50 ribu – Rp. 100 ribu dan 26,8% nya akan bisa menerima dibawah Rp. 50 Ribu.
Berdasarkan catatan Urban Policy, dari 11 Kecamatan di kota Depok keseluruhannya memiliki kerawanan terhadap politik uang dan kampanye negatif kisaran 16,9% sampai 37,5%. “berdasarkan hasil penelitian kami, Kecamatan Cimanggis (37,5%) menempati posisi paling rawan, disusul oleh Kecamatan Sawangan (35,4%) di peringkat kedua dan Kecamatan Bojongsari (35,3%) di urutan ketiga. Sedangkan untuk peringkat kerawanan terendah adalah Kecamatan Cilodong hanya 16,9%, namun secara umum semua kecamatan rawan politik uang dan kampanye negatif” ucap Nurfahmi
Nurfahmi menambahkan “Hal ini tentu mengindikasikan bahwa di masa tenang ini, justru tugas penyelenggara pilkada baik KPU maupun Bawaslu kota Depok semakin berat, utamanya untuk membendung politik uang dan potensi tindak pidana pemilu lainnya, sosialisasi sanksi politik uang dan penegakan hukum bagi pelaku politik uang juga harus dikedepankan secara objektif, agar tidak menciderai kualitas demokrasi di Kota Depok”. Ujar Nurfahmi.
Dalam beberapa aspek, penyelenggaraan Pilkada oleh KPU Kota Depok layak untuk di apresiasi, namun berdasarkan penelitian ini, Urban Policy merekomendasikan kepada penyelenggara pemilu baik KPU, Bawaslu, maupun bekerjasama dengan penegak hukum untuk meningkatkan aspek pengawasan dan penindakan terhadap politik uang pada Pilkada Depok.
Selain itu, Nurfahmi juga mengajak masyarakat agar dapat berpartisipasi untuk ikut mengawal Pilkada bersih di kota Depok. “Masyarakat adalah faktor kunci yang menentukan kualitas pilkada Kota Depok, peran masyarakat sangat penting untuk membendung politik uang. Mari kita wujudkan Pilkada bersih dan demokratis di kota Depok, bila warga menemukan indikasi politik uang atau kecurangan dalam pemilu, jangan ragu untuk melaporkan kepada Bawaslu ataupun penegak hukum, baik yang terjadi pada masa tenang maupun pasca pencoblosan” ucap Nurfahmi.
Posting Komentar untuk "Riset Urban Policy: Pilkada Depok Rawan Politik Uang Dan Kampanye Negatif"