Perwujudan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 Ayat 42 yang meliputi menyalurkan aspirasi, pemikiran dan kepentingannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lebih detail lagi, bentuknya dapat berupa konsultasi publik, musyawarah, kemitraan, penyampaian aspirasi, pengawasan maupun peraturan pemerintah terkait (Pasal 354 Ayat 4). Partisipasi dimaksudkan sebagai upaya mendorong setiap warga negara untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat disetiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi juga berfungsi untuk menjamin setiap kebijakan yang diambil mampu mencerminkan kondisi yang sesuai fakta di lapangan. Sehingga dalam mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah perlu menyediakan kanal komunikasi agar rakyat dapat menyalurkan partisipasi aktifnya. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarakat sebagai indikator keberhasilan program pembangunan daerah dalam ruang demokrasi.
Guna mengakomodir partisipasi publik, maka pemerintah daerah perlu mengoptimalkan peran lembaga think tank yang berfungsi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap proses pembangunan. Kehadiran lembaga think tank merupakan upaya untuk melakukan perencanaan berbasis penelitian (research-based planning) dan kebijakan berbasis bukti (evidance-based poicy) melalui data empiris kondisi masyarakat, sehingga proses pelaksanaan program dan pembangunan dalam demokrasi pemerintah daerah yang berlandaskan peran masyarakat dapat tercipta dengan baik.
Secara sederhana, lembaga think tanks adalah organisasi yang menghasilkan penelitian dengan orientasi pada kebijakan, analisis dan nasihat tentang isu-isu domestik dan international dalam upaya untuk memungkinkan para pemangku kepentingan dan masyarakat untuk membuat keputusan tentang isu-isu kebijakan publik. Hal ini patut menjadi perhatian bahwa jika policy research kembali ditinggalkan, maka stakeholder akan lebih mengedepankan expert judgement dari pada rekomendasi policy research yang dilakukan oleh lembaga think tank terkait. Baik think tank yang bersifat otonom dan independen, quasi independen, afiliasi kelembagaan (swasta, partai politik dan pemerintah) serta quasi pemerintahan.
Pada tahun 2018, Mentri Perecanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro dalam seminar “Penelitian di Indonesia : Kesempatan dan tantanan” menyatakan bahwa lembaga penelitian perlu berperan sebagai think tank yang berfungsi sebagai jembatan antara pembuat kebijakan dengan akademisi. Ditegaskan pula fungsi penting lembaga think tank, yaitu untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, memberikan respon cepat (quick analysis), dan mengembangkan teori dan model pembangunan.
Dampak positif yang akan terjadi adalah mekanisasi yang otomatis “bridging research to policy” dan “bridging knowledge to power” dalam sebuah mekanisme internal di lembaga think tank terkait. Maka dari itu, peran lembaga think tanks sebagai penghubung antara komunitas akademisi dengan pengambil kebijakan, melayani kepentingan publik sebagai suara independen yang menerjemahkan terapan dan penelitian dasar ke dalam bahasan dan bentuk yang dapat dimengerti, dapat dipercaya, dan dapat diakses bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat.
Lantas kemudian, bagaimana perkembangan lembaga think tank di Indonesia? McCawley (2014) menyampaikan pada sebuah lokakarya bahwa akhir-akhir ini, kelompok lembaga pemikir di Indonesia jauh lebih aktif daripada sebelumnya, dan semakin banyak memberikan sumbangan pemikiran pada perdebatan kebijakan publik. Goran Buldioski menyampaikan bahwa istilah “think tank” tidak memiliki makna bagi banyak orang, terutama di negara berkembang. Ini adalah benchmark yang penting yaitu bagaimana kita bisa menjelaskan tentang think tank pada orang umum dan dunia secara luas.
Namun Muhyiddin (2019) menyampaikan banyak lembaga think tank yang teridentifikasi masih terbatas persyaratan membangun lembaga pelaksana studi dan pemikir, dengan isu yang bersifat wacana dan belum dapat ditransformasikan ke kebijakan. Beberapa universitas juga sudah memiliki pusat studi keilmuan untuk menciptakan inovasi, memantapkan perencanaan, menemukan solusi, merubah keadaan, dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan. Namun belum pernah dilakukan inventarisasi apakah sudah termasuk kategori menjalankan fungsi dan peran sebagai lembaga think tank atau tidak untuk dapat menerjemahkannya ke dalam kebijakan publik/daerah.
Pada kegiatan FGD Deputi Bidang Pengkajian Stratejik Lemhannas-RI, Solihin (2013) menyebutkan terdapat 17 indikator lembaga think tank yang berkualitas dan efektivitasnya sebagai berikut :
1. Hubungan langsung antara upaya suatu organisasi di daerah tertentu untuk sebuah perubahan positif dalam nilai-nilai sosial yaitu perubahan yang signifikan dalam kualitas hidup di negara masing-masing; jumlah barang dan jasa yang tersedia untuk warga; kondisi kesehatan fisik dan mental; kualitas hak-hak politik; akses ke lembaga, dsb;
2. Publikasi produk organisasi oleh jurnal review, buku dan publikasi lainnya yang dihargai;
3. Kemampuan untuk mempertahankan sarjana dan analis terkemuka;
4. Akses kepada orang-orang penting di bidang pembuatan kebijakan, media dan akademisi;
5. Reputasi akademik : akreditasi formal, kutipan dari think tank, publikasi menurut keilmuan dalam buku-buku akademis, jurnal, konferensi, dan publikasi profesional lainnya;
6. Reputasi Media : Jumlah penampilan di media, wawancara dan kutipan di media;
7. Reputasi dengan pembuat kebijakan (mengenali isu-isu tertentu, jumlah briefing dan janji resmi, ringkasan kebijakan, testimoni legislatif yang disampaikan);
8. Tingkat sumber daya keuangan organisasi (sumbangan, biaya keanggotaan, sumbangan tahunan, kontrak pemerintah dan swasta, pendapatan diperoleh);
9. Kemampuan organisasi untuk memenuhi tuntutan pemberi dana atau untuk memenuhi tujuan masing-masing institusi pemberi keputusan;
10. Keluaran organisasi secara menyeluruh : proposal kebijakan, publikasi, wawancara, konferensi, staf yang dinominasikan untuk jabatan resmi;
11. Jumlah rekomendasi kepada pembuat kebijakan, staf yang melayani peran penasihat bagi pembuat kebijakan, penghargaan yang diberikan kepada para sarjana;
12. Kegunaan informasi organisasi dalam kerja advokasi, mempersiapkan undang-undang atau testimoni, menyiapkan makalah akademis atau presentasi, melakukan penelitian atau mengajar;
13. Kemampuan organisasi untuk menghasilkan pengetahuan baru atau ide-ide alternatif kebijakan;
14. Kemampuan untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan kebijakan serta antara pembuat kebijakan dan masyarakat;
15. Kemampuan untuk menyertakan suara-suara baru dalam proses pembuatan kebijakan;
16. Kemampuan organisasi yang akan ditulis dalam isu dan jaringan kebijakan;
17. Keberhasilan dalam menangani kearifan lokal para pembuat kebijakan dalam menghasilkan ide-ide kebijakan dan program yang inovatif.
Posting Komentar untuk "Mendorong Kiprah Lembaga Think Tank terhadap Pembangunan Daerah"