INFODEPOK.NET
Kenaikan harga energi akibat dampak konflik Rusia-Ukraina mulai terasa secara global dan tentunya berpengaruh terhadap berbagai sektor yang terkait dengan ketiga sumber energi tersebut: minyak, gas, dan batu bara.
Dari sisi fiskal, kenaikan harga energi tentu akan berdampak terhadap APBN mengingat asumsi ICP APBN 2022 hanya US$63 per barel sedangkan ICP tanggal 24 Maret 2022 sebesar US$114,5. Apalagi Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak 2004.
Kenaikan harga minyak akan menyebabkan kenaikan biaya impor untuk pengadaan BBM secara nasional. Di sisi lain, realisasi harga minyak (ICP) saat ini melampaui asumsi pada APBN 2022. Defisit neraca migas tentu makin meningkat dengan naiknya impor crude maupun BBM seiring menurunnya produksi minyak dan masih terbatasnya kilang pengolahan domestic – lifting minyak sebesar 660 ribu barel per hari dengan konsumsi minyak sebesar 1,2 juta barel per hari, kapasitas kilang domestic 1,1 juta barel per hari (data tahun 2021).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca minyak dan gas sepanjang tahun 2021 mengalami defisit sebesar US$ 13,25 miliar atau Rp 189,5 triliun. Sedangkan deficit migas sebesar US$1,33 miliar pada Januari 2022. Dengan asumsi produksi minyak mentah, impor minyak mentah dan BBM untuk tahun 2022 tak jauh berbeda dari tahun 2021, maka kami memperkirakan defisit migas sepanjang 2022 akan membengkak sekitar US$ 16,5 miliar atau Rp. 379 triliun dan tentunya sangat membebani APBN 2022.
Irnanda Laksanawan selaku Strategic Advisor Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS) menyampaikan beberapa catatan terhadap kebijakan strategis yang diambil pemerintah dalam upaya menjaga pasokan dan distribusi BBM nasional,
antara lain:
Penetapan Pertalite sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) berdasarkan Kepmen ESDM No.37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 merupakan langkah yang tepat. Kebijakan ini akan sangat membantu kondisi keuangan Pertamina, karena adanya kompensasi dari selisih harga jual saat ini. Masyarakat juga diuntungkan karena mendapatkan BBM dengan RON yang lebih tinggi ketimbang Premium, dengan spesifikasi yang lebih baik dan lebih ramah lingkungan.
Meski Pertalite sudah ditetapkan sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP), namun pemerintah menegaskan bahwa harga Pertalite tidak naik.
Hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat, di mana Pertalite mendominasi lebih dari 60% dari total konsumsi BBM secara nasional.
Pemerintah sudah memberikan sinyal untuk menyesuaikan harga Pertamax. Sebagai jenis bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi wajar apabila harga Pertamax disesuaikan seiring perkembangan harga minyak global.
Dengan harga jual Pertamax saat ini, yakni Rp 9.000 per liter, jauh di bawah keekonomiannya sebesar Rp 14.526 per liter.
Sebagai perbandingan, harga Pertamax terbilang murah dibandingkan negara negara tetangga di Asia Tenggara, termasuk dibandingkan dengan harga jual BBM RON92 oleh SPBU swasta.
Pengguna BBM nonsubsidi, mulai dari Pertamax, Pertamax Turbo, dan Pertamina Dex, adalah kelompok menengah atas dengan daya beli yang kuat. Namun, Pertamina belum menaikkan harga Pertamax, sejak tiga tahun terakhir ini. Dengan persentase pengguna Pertamax hanya sebesar 13%, kenaikan harga ini kami nilai tidak akan berdampak kepada makroekonomi secara umum.
Dari kondisi di atas, Irnanda Laksanawan, menyampaikan beberapa catatan sekaligus rekomendasi terhadap upaya yang tengah dilakukan pemerintah terhadap pengelolaan energi khususnya kebijakan pengelolaan BBM, yaitu:
Memberikan apresiasi terhadap arahan yang diambil Presiden Joko Widodo yang dengan tegas namun hati-hati, terhadap kebijakan harga BBM, baik BBM subsidi maupun non subsidi.
Pertimbangan untuk terus mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat, dampak terhadap sector ekonomi lainnya, sekaligus pengendalikan tingkat inflasi, adalah pandangan yang rasional dan terukur. Arahan presiden ini dapat diterjemahkan dengan langkah-langkah strategis oleh berbagai pihak yang terkait.
Mendukung langkah yang dilakukan oleh menteri BUMN Erick Thohir yang telah menyampaikan keputusan pemerintah, akan menyesuaikan harga BBM non subidi jenis Pertamax namun mempertahankan harga Pertalite yang menjadi Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP).
Mengapresiasi langkah sigap yang dilakukan Komisi VI DPR yang menyetujui usulan PT Pertamina (Persero) untuk melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi RON 92 atau Pertamax, untuk mengikuti harga keekonomian minyak dunia sebagai upaya menjamin kesehatan keuangan PT Pertamina (Persero) dalam menjalankan penugasan pemerintah.
Menekankan perlunya mekanisme lebih lanjut, monitoring dan strategi komunikasi yang tepat, sehingga masyarakat yang selama ini menggunakan Pertamax tidak beralih ke Pertalite. Selain itu, perlunya pengawasan ekstra ketat terhadap Penyaluran Pertalite agar realisasinya tidak melebihi kuota dan tidak menambah beban Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN).
Irnanda Laksanawan mengapresiasi Pertamina sebagai BUMN energi yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan BBM di Indonesia, dalam melakukan langkah strategis korporasi cerdas dan kreatif, melakukan penyesuaian kebijakan internal maupun eksternal seperti efisiensi, diversifikasi produk, penyesuaian harga BBM nonsubsidi, dll. Peran ganda BUMN sebagai “entitas bisnis” yang profit oriented dan PSO (Public Service Obligation) untuk menjaga kepentingan masyarakat luas harus dijalankan secara seimbang dan proporsional.
Irnanda Laksanawan sangat mendukung kebijakan Presiden Jokowi dan kabinetnya yang mengutamakan kemampuan daya beli masyarakat, menjaga stabilitas perekonomian nasional dan tentunya kepastian pasokan barang kebutuhan pokok masyarakat, baik pangan maupun energi, serta menjaga keberlanjutan fiskal yang mendukung dunia usaha dan industri.
DV/ID
Posting Komentar untuk "Irnanda : Penyesuaian Harga BBM sebagai Upaya Menjaga Pemulihan Ekonomi Nasional"