Udah di kejar deadline , tapi
transkrip wawancara kemarin belum dibuat. Oke deh, dibikin jadi format tanya
jawab saja biar cepat selesai. “Pernah punya pikiran seperti di atas? Kalau
iya, itu kurang tepat. Karena artikel dengan format tanya jawab atau Q&A
juga tidak bisa asal tulis berdasarkan urutan pada sesi wawancara. Penulis
sebaiknya tidak langsung menyalin begitu saja transkripsi wawancara, karena
artikel format tanya jawab bukan sekadar menerjemahkan lisan ke dalam tulisan. Artikel
dengan format tanya jawab justru punya tantangannya sendiri, yakni bagaimana
menata alur pertanyaan yang bisa memiliki jawaban menarik, sekaligus membawa
pembaca terus mengikutinya hingga akhir artikel; selain itu juga ada seni
memilah karena terbatasnya panjang artikel, dan Anda tak punya wewenang untuk
menambahkan "bumbu-bumbu" pada jawaban yang ringkas atau kurang
menarik.Untuk itu, setiap tahap dari persiapan hingga penyusunan sangat
menentukan kualitas artikel wawancara. Coba tanyakan lagi, "Bagaimana
proses wawancara berlangsung?" Siapa narasumbernya? Seperti apa
situasinya? Apa yang dibahas, dan seterusnya. Agar mendapatkan jawaban yang
diharapkan dari sederet pertanyaan itu, ikuti detail tahapannya berikut ini:
Cari persona yang menarik
Langkah
pertama terkait pada tahap persiapan; pemilihan narasumber yang jeli akan
sangat membantu kualitas artikel pada akhirnya.Jika narasumber anda memberikan
jawaban yang kurang menarik, tidak kooperatif saat wawancara, atau bahkan tidak
konsisten dengan jawabannya sendiri, tentu akan menyulitkan Anda ketika
menyusun naskahnya.Maka, cari persona yang tepat; figur yang memiliki
perspektif menarik dan menginspirasi. Untuk hal ini memang kita tidak bisa
hanya main tunjuk saja, tapi harus cermat, memiliki pengetahuan luas, dan peka
dengan berbagai hal terkini; sehingga bisa menentukan narasumber yang
tepat.Selain itu, momentum juga jadi faktor pertimbangan penting dalam memilih objek
wawancara.Menurut Lisa Liebman, penulis lepas asal New York yang sering menulis
artikel tanya jawab di Vulture dan Vanity Fair, ia sering dihadapkan
pada banyak pilihan untuk objek wawancara.
Bahas topik yang unik
Artikel
yang memuat topik yang belum pernah dibahas media lain akan menggugah pembaca
untuk tertarik membacanya. Maka itu, Anda mesti cermat menggali topik-topik
bahasan yang tidak biasa dibahas media lain.Misal, narasumber Anda adalah
seorang penyanyi yang sudah 10 tahun berkarya; daripada bertanya tentang
persiapan albu terbaru, mungkin Anda bisa membahas tentang ambisi di luar dunia
musik yang ingin ia sentuh. Siapa tahu, ia punya mimpi terpendam untuk jadi
pemain ice skating atau chef, misalnya. Seperti kita
semua, narasumber juga manusia yang hidupnya multidimensi.Pikirkan topik
bahasan secara serius pada saat penyusunan outline pertanyaan. Gali dan tangkaplah dimensi
lain dari narasumber yang kita wawancara.
Bangun percakapan, bukan
interogasi
Seperti
namanya, artikel wawancara memang pasti mengawali jawaban narasumber dengan
pertanyaan. Tapi, biar menarik diikuti pembaca dan terasa mengalir seperti
percakapan, jangan hanya bertanya, tapi sisipkan pula fakta pendamping.Contoh,
kalau Anda ingin menuliskan tentang kebiasaan olahraga si narasumber, maka Anda
bisa mengganti pertanyaan seperti "Apa saja yang Anda lakukan agar tetap
fit di tengah kesibukan?" dengan "Kabarnya Anda rutin yoga dua kali
seminggu? Apa iya? Apa jenis yoga yang kini paling Anda suka?"Intinya,
jadikan alur wawancara kasual dan terkesan seperti sesi ngobrol. Daftar
pertanyaan yang dibuat hanya sekadar panduan buat mengingatkan kita, dan tidak
untuk jadi panduan mutlak tentang cara menanyakannya.Tanya jawab yang mengalir
seperti percakapan juga cenderung lebih menarik dan memancing
pertanyaan-pertanyaan baru. Ikuti, selama kita tidak terseret jauh keluar dari
konsep utama.Maka itu, penting sebetulnya untuk melakukan wawancara secara
langsung, karena aliran yang alami lebih mungkin terjadi jika bisa berbicara
langsung, entah tatap muka atau minimal via telepon. Karena metode ini bisa
menunjukkan seberapa percaya narasumber pada si pewawancara. Apakah mereka
relaks, dan terbuka? Dan jika narasumber tidak tertarik, kita bisa langsung
menangkapnya dan mengusahakan agar ia sadar pentingnya wawancara yang
berlangsung.Jika seburuk-buruknya harus wawancara via email, maka tekankan pada
pertanyaan-pertanyaan kunci, atau yang jawabannya belum ada di sumber informasi
lain, serta hindari pertanyaan yang membuat narasumber hanya perlu menjawab
"ya" atau "tidak"; karena kebanyakan narasumber kurang
berkenan menjawab puluhan pertanyaan via email. Maka itu, pilih, buat ringkas,
atau tentukan yang paling penting.
Cari jawaban paling menarik,
sunting yang tidak perlu
Tugas
lainnya yang tak kalah penting menentukan kualitas artikel wawancara adalah
memilah mana jawaban yang menarik, dan kemampuan menyunting materi tanpa
melepaskan diri dari konteks dan substansi materi wawancara. Transkripsi
wawancara bisa sangat panjang, maka itu penting juga jika Anda memiliki catatan
tentang bagian-bagian seru dari proses wawancara.Kadang Anda juga menemukan
kasus seperti ini: semua jawaban menarik, sehingga rasanya ingin memasukkan
semuanya ke dalam artikel. Jika terjadi, suntinglah, tanpa mengubah isinya. Salah
satu tekniknya bisa dengan menjadikannya satu paragraf dengan pertanyaan yang
relevan untuk merangkum jawaban tersebut. Ingat untuk selalu mempertahankan
kesinambungan antar kalimat dan pertanyaan.Soal penyuntingan ini sangat vital
dan bisa menolong langkah yang kurang tepat pada tahap persiapan dan eksekusi
wawancara; seperti pada cerita berikut ini:Ada seorang jurnalis yang mendapat
tugas mewawancarai aktor Robert Downey Jr. (RDJ) untuk artikel tiga halaman di
sebuah majalah. Lucunya, si pewawancara tidak tahu sama sekali tentang siapa ith
RDJ. Tanpa melakukan riset sama sekali, ia nekat mewawancarai sang aktor. Setelah
wawancara ia baru mengetahui lebih jelas tentang siapa RDJ. Tapi terlambat.
Wawancara sudah selesai dan tidak bisa diulang. Yang perlu ia pikirkan adalah
apa yang mesti dilakukan untuk memperbaikinya. Iapun menyunting wawancara
dengan sudut pandang jujur sepenuhnya. Si jurnalis menulis semuanya
sejujur-jujurnya, bahwa ia melakukan wawancara tanpa mengetahui siapa RDJ. Kepolosan
si jurnalis dan jawaban-jawaban RDJ yang ternyata banyak membohongi si
pewawancara dengan cara jenaka justru jadi menarik untuk diikuti pembaca. Si
jurnalis menyuntingnya dengan memberi imbuhan informasi ekstra pada babak-babak
pertanyaan, agar pembaca bisa membedakan yang mana momen asli saat wawancara,
dan yang mana keterangan tambahan. Sambutan
pembaca majalah sangat positif. Bahkan moral cerita dari peristiwa itu jadi
salah satu bahan di berbagai kelas penulisan dan jurnalistik, tentang
pentingnya kreativitas dan kemampuan menyunting yang baik untuk mendapatkan
celah membuat artikel jadi menarik, tanpa merusak keabsahannya.
Posting Komentar untuk "Cara Membuat Artikel Supaya Tidak Sekedar Narasi"