INFODEPOK.NET
Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mempertanyakan kewibawaan Presiden lantaran perintah dan teguran Jokowi kepada para kepala daerah dan Forkopimda agar kebebasan beragama dan beribadah dijamin negara justru diabaikan.
Fakta Bupati dan Forkopimda Sukabumi pada awal Februari 2023 melarang muslim Ahmadiyah di Parakansalak membangun sarana pendidikan maupun kegiatan keagamaan lainnya dan sebelumnya, 26 Januari 2023, Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat, menyesatkan Ahmadiyah dan melarang mereka melakukan aktivitas keagamaan , bagi Halili, menjadi bentuk pembangkangan para kepala daerah.
“Kewibawaan Presiden dipertanyakan. Padahal pernyataan Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forkopimda Tahun 2023 di Bogor (17/1) disaksikan publik Indonesia, karena hampir semua media besar mengangkatnya. Sudah dicoreng muka Jokowi,” kata Halili dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, 15 Februari 2023.
Kekecewaan masih maraknya praktik pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah disampaikan oleh juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana.
“Ternyata, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ‘jangan sampai kesepakatan mengalahkan konstitusi’ diabaikan oleh kepala daerah yang melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas keagamaan,” ungkap Yendra.
Ia mengaitkan kasus-kasus diskriminasi yang dialami Ahmadiyah akhir-akhir ini sebagai aktivasi politisasi agama menjelang pemilu serentak 2024. Karena itu, sambung Yendra, JAI akan bersiap bersama koalisi dan jaringan kebebasan beragama atau berkeyakinan untuk menghadapinya.
“Dalam pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya Ahmadiyah selalu dijadikan komoditas isu untuk mengangkat popularitas (peserta pemilu),” ucap Yendra.
Agar pernyataan Jokowi bukan isapan jempol belaka, harap Yendra, pemerintah pusat harus memastikan politisasi Ahmadiyah di pemilu serentak untuk kepentingan politik yang sempit tidak terus bergulir di daerah-daerah dan tidak menjadikan SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah sebagai konsideran pelarangan Ahmadiyah oleh pemerintah daerah. Sebab sampai saat ini Ahmadiyah tidak pernah dilarang atau dibubarkan.
Bahkan pembaruan legalitasnya disetujui oleh Kemenkumham, 13 Januari 2023, sebagai organisasi sosial keagamaan yang berbadan hukum sejak tahun 1953.
Juandi Gultom dari Divisi Advokasi dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) turut menyayangkan praktik diskriminasi yang terus terjadi pascapernyataan Presiden Jokowi.
Sepanjang 2022 PGI mencatat ada 23 gereja yang mengalami gangguan. Data ini terus meningkat sampai hari ini. Padahal, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dialami gereja-gerja sebelumnya banyak yang belum diselesaikan negara,” sesal Juandi.
Ia pun menyebut penolakan dan pembubaran ibadah yang dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cileungsi, Bogor, dan pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung yang sama-sama terjadi pada 5 Februari 2023, setelah perintah Jokowi kepada para pimpinan daerah dan Forkopimda.
Dalam konferensi pers, Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melihat kecenderungan pelarangan atau penolakan beribadah, rumah ibadah dan kegiatan keagamaan kelompok minoritas agama atau keyakinan tidak tampak surut memasuki tahun-tahun politik.
Praktik intoleransi dan diskriminasi berbasis agama terus meningkat yang celakanya di banyak kasus aktor pelanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan berasal dari unsur negara. Yang terbaru, pada 5 Januari 2023, Polres Ponorogo bersama Camat (Ngabel, Ponorogo) membubarkan paksa acara Jalsa Salanah, kegiatan tahunan jemaat Ahmadiyah.
“Harusnya aparat kepolisian dan TNI berpihak kepada minoritas yang menjadi korban. Tugas aparat itu menindak pelaku,” tegas wakil koalisi dari Imparsial, Anisa Yudha.
Karena itu, sambung peneliti Imparsial, koalisi mendesak Presiden Jokowi agar tidak berhenti pada statemen saja. Preseiden harus secara nyata mengevaluasi Kemendagri yang tidak menjalankan tanggung jawabnya mengawal para kepala daerah agar tidak melanggar kebebasan beragama.
“Justru Kemendagri harus melakukan monitoring dan evaluasi ke kepala daerah agar seluruh warga diperlakukan secara setara dalam beragama dan berkeyakinan,” pungkas Anisa.
Red/ID
Posting Komentar untuk "Pelanggaran Kebebasan Beragama Meningkat, Kewibawaan Presiden Dipertanyakan"