'Wakil Rakyat' Depok Jadi Tersangka Pencabulan Minta Kasus Ditutup,Praktisi Hukum Buka Suara!

Photo : DR (c) Tatang S.E., S.H., M.H., CPL. CPM.

INFODEPOK.NET I GDC
Pada saat ini sedang viral di berbagai media tentang “Anggota DPRD Depok, RK Klarifikasi Dugaan Kasus Rekayasa Pencabulan”. Faktanya pada tanggal 4 Januari 2025 telah terjadi jumpa pers di Kantor PWI Kota Depok yang dihadiri oleh Terduga Pelaku Pencabulan berserta Isteri dan kuasa hukum, dihadiri oleh Ibu dari Korban inisial A dan awak media.

Pertemuan tersebut pada intinya disampaikan oleh Pengacara RK yaitu :
 “Bahwa pada 26 September 2024 telah terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor. Perdamaian tersebut melibatkan pencabutan laporan polisi, berita acara pemeriksaan, dan kompensasi yang telah diterima oleh pelapor.
Setelah perdamaian tersebut, korban berlibur ke Surabaya dan Bali.” Dan menurut Pengacara RK “Namun, kasus ini kembali mencuat karena desakan pihak ketiga dengan kepentingan tertentu.

Pengacara menegaskan bahwa perdamaian sebelumnya seharusnya menghentikan proses hukum.” (dikutip dari BERIMBANG.COM, terbit tanggal 5 Januari 2025 dan dikutip tanggal 6 Januari 2025).

Kemudian RK juga memberikan keterangan sebagai berikut :
Bahwa kasus telah diselesaikan secara kekeluargaan dan merasa penetapan dirinya sebagai tersangka tidak adil. Ia juga mencatat bahwa pemberitaan di media dianggap sepihak dan merugikan namanya. RK meminta rekan media untuk melaporkan kasus ini secara objektif dan memberikan kesempatan untuk hak jawabnya.” (dikutip dari BERIMBANG.COM, terbit tanggal 5 Januari 2025 dan dikutip tanggal 6 Januari 2025).

" Bahwa atas fakta dalam jumpa pers di Kantor PWI Kota Depok tersebut maka, hal tersebut mengundang Kami sebagai Akademis dan Praktisi untuk memberikan tanggapan tentang Sudut Pandang Hukum terhadap dugaan rekayasa laporan tindak pidana dan Perdamaian atau Restorative Justice di  dalam Perkara tindak pidana pencabulan, " Imbuh Pengacara Tatang SH. 

Dugaan Rekayasa Tindak Pidana Pencabulan.
Sejatinya dalam proses penegakan hukum terdapat penyelidikan untuk mencari ada tidaknya tindak pidana, kemudian dilanjutkan dengan proses Penyidikan, yang menurut Pasal 1 angka 2 adalah “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. 

Artinya dalam proses penyidikan, Penyidik mencari alat bukti untuk membuat terang dan jelas peristiwa pidana sekaligus menemukan dan juga menentukan tersangka nya.

Di mana berdasarkan Pasal 1 angka 14 menyatakan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Hal tersebut berarti dalam menentukan tersangka seorang Penyidik melihat adanya bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka.

Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa/Tersangka. Jadi, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 jenis alat bukti, dan ditentukan melalui gelar pekara.

Berarti secara hukum suatu peristiwa pidana baru dapat ditetapkan tersangka setelah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang cukup dan alat bukti tersebut merujuk pada seseorang yang dinyatakan kemudian sebagai Tersangka.

Adapun jika seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka keberatan atas penetapan tersangka dengan alasan terdapat dugaan manipulasi atau rekayasa maka, pihak yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum PRAPERADILAN, untuk membuktikan bahwa penetapan tersangka adalah salah karena tidak didasarkan alat bukti yang cukup atau salah menentukan Tersangkanya.

Namun PRAPERADILAN tidak menyediakan ruang bagi penghentian penegakan hukum atas peristiwa tindak pidana yang “diselesaikan dengan jalur perdamaian”.

Akan tetapi, menjadi suatu pertanyaan yang substansial dan harus diketahui umum “Dapatkah dugaan tindak pidana atau tindak pidana pencabulan terhadap anak yang telah dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka dihentikan atau dilakukan SP3 dengan alasan perdamaian atau Keadilan Restoratif?”.

Sudut Pandang Hukum terhadap dugaan rekayasa laporan tindak pidana dan Perdamaian atau Restorative Justice di  dalam Perkara tindak pidana pencabulan.

Pada dasarnya keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Di pihak lain keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum dan pekerja hukum.

Dalam keadilan restoratif, kejahatan dilihat sebagai pelanggaran dari seseorang terhadap orang lain dan masyarakat. Kejahatan mempunyai dua dimensi baik individual maupun sosial.

Pelanggaran menciptakan tanggung jawab dan berfokus pada penyelesaian masalah. Tanggung jawab didefinsikan sebagai menerima tanggung jawab dan bersedia untuk memperbaiki/mengganti kerugian. Mengutamakan dialog dan negosiasi.

Kemudian pengaturan tentang Restorative Justice juga diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, di mana dalam Pasal 5 ayat 1 menyatakan Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
A. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.

B. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. 

C.dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat 8 huruf a menyatakan :
“Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif DIKECUALIKAN untuk perkara: tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;”
Bahwa kemudian Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, menegaskan pada Pasal 5 huruf a dan b menyatakan syarat materil dilakukannya keadilan restoratif yaitu tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari Masyarakat; tidak berdampak konflik sosial.

Bahwa pencabulan terhadap anak dikategorikan sebagai tindak pidana kesusilaan yang saat ini meresahkan Masyarakat dan berdampak pada konflik sosial. Artinya jenis tindak pidana kesusilaan ini tidak dapat dilakukan Restorative Justice, jika mengacu pada pendekatan kedua peraturan tersebut.

Adapun Klaim perdamaian yang dilakukan oleh para pihak merupakan inisiatif dari para pihak yang membuatnya, namun secara hukum tidak dapat dijadikan alasan hukum untuk menghentikan proses penegakan hukum. Artinya, tidak ada alasan hukum/legal reason yang membenarkan pengehentian tindak pidana pencabulan terhadap anak karena telah dilakukan perdamaian oleh Para Pihak.

Di lain sisi, pandangan hukum dan Logika Hukum Kami berpendapat “jika seseorang (pelaku) menyatakan telah berdamai dengan pihak korban atas suatu peristiwa, BERARTI PARA PIHAK MENYADARI TELAH TERJADI SUATU PERISTIWA TERSEBUT TANPA BISA DIINGKARI OLEH SATU DAN LAIN PIHAK, hanya saja mereka memilih untuk menyelesaikannya dengan jalan damai”.

Namun hal tersebut hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana ringan atau tertentu (lihat : Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif), dan tidak dapat diberlakukan untuk tindak pidana berat atau tindak pidana khusus termasuk pencabulan terhadap Anak.

Karena jika Restorative Justice atau perdamaian dapat dilakukan terhadap tindak pidana Pencabulan Anak, maka berpotensi besar meresahkan dan/atau mendapat penolakan dari Masyarakat serta berpotensi berdampak pada konflik sosial.

Untuk menutup pendapat hukum ini, Kami menyampaikan hal penting. Anak adalah anugrah dari Tuhan YME, sehingga harus dilindungi dari segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Anak juga harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan yaitu dilindungi dari setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Sehingga anak bukanlah alat untuk mendapatkan keuntungan dalam bentuk apapun, dan jika seorang anak nyata-nyata telah diperlakukan dengan tidak senonoh, dicabuli, ditindas, dijadikan bahan untuk mendapatkan keuntungan baik oleh keluarga maupun pihak lain, seyogyanya negara hadir untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi Anak.

"Demikian Pendapat Hukum Kami tentang dugaan pencabulan Anak di Kota Depok yang sedang viral, semoga bisa membantu mencerahkan pemikiran Warga Kota Depok yang memiliki slogan “Kota Ramah Anak”. Pendapat Hukum ini juga dibuat berdasarkan Asas, Teori dan Norma yang berlaku serta bukan untuk menyudut pihak-pihak tertentu, " Ujar Advokat Andi Tatang SH. 

DV/ID

Posting Komentar untuk "'Wakil Rakyat' Depok Jadi Tersangka Pencabulan Minta Kasus Ditutup,Praktisi Hukum Buka Suara! "